3 Minggu ini konsentrasiku menulis sering terganggu dengan “PR” anakku. Setiap hari gurunya selalu memberikan PR (Pekerjaan Rumah). Bukannya aku tak setuju dengan pemberian PR itu. Tapi dalam kasusku, justru PR bikin aku atau istriku jadi teler. Memang PR berguna buat melatih anak-anak mengulang pelajarannya di rumah. Bahkan beberapa orang tua setuju guru memberinya PR setiap hari, karena jika tak ada PR, maka anaknya tak akan belajar di rumah. Kupikir, ada yang salah dalam memaknai PR.
Dulu, waktu aku dan CR mengelola SDIT, kami punya kebijakan soal PR. Dalam seminggu, murid hanya boleh menerima PR paling banyak 3x dan setiap PR tidak boleh lebih dari 5 soal. Berarti jika ada guru Bahasa Indonesia, Matematika, IPS, yang sudah memberikan PR dalam satu minggu itu, maka guru lain tak boleh menindas murid dengan PR lainnya.
Kebijakan yang kami terapkan, bukan sekedar untuk tidak membebankan murid di rumah. Tapi ada keuntungan lain, yaitu, semua guru bidang studi, selalu menjalin komunikasi tentang pelajaran yang sudah diberikan dan PR yang akan diberikan kepada sebuah kelas. Semua wali kelas, punya tanggung jawab untuk mengecek, guru bidang studi apa saja yang sudah memberikan PR.
Lagi pula dari sisi isi, PR juga harus diperhatikan. Jangan sampai ada PR yang bakalan dikerjakan oleh orang tua si murid. Maksudnya, buatlah PR sesuai dengan apa yang telah dipelajari di kelas. Jangan sekali-kali memberikan PR, namun guru belum pernah mengulas topik tersebut di depan muridnya.
Seperti yang kualami sekarang. Anakku yang kelas 1 SD 4 kali dapat PR, untuk membuat poster ukuran 30×30 cm, lalu poster itu diisi dengan Angka. Yang kedua diisi dengan Alphabet. Yang ketiga dengan Huruf Sambung. Yang keempat menempelkan foto si anak dan diberinya hiasan, sebagai hiasan dinding. Anakku bilang, “Kata bu guru, minta tolong sama Mama!” Akhirnya, ke-4 tugasnya itu, murni: Istriku yang menyelesaikannya.
Belum lagi soal yang tak jelas kebenaran jawabannya. Pernah ada pertanyaan begini:
“Sebelum makan, kita harus …..”
Anakku menjawab soal PR itu : “Sebelum makan, kita harus BERDOA”
Esok harinya, kata anakku jawabannya salah. yang benar, “Sebelum makan, kita harus CUCI TANGAN”
Ini salah satu contoh, guru memberikan soal yang membingungkan. Anak dipaksa untuk menerima jawaban yang kebenarannya ada pada guru. Padahal, kupikir jawaban anakku tak juga salah. Untuk menjawab dengan lengkap, kupikir, seorang anak kelas 1 SD belum sanggup menjawab seperti ini, “Sebelum makan, kita harus CUCI TANGAN DENGAN SABUN, LALU MENYIAPKAN MINUMAN AGAR TAK TERSEDAK, SELANJUTNYA BERDOA”
Guru, dimanakah logikamu?!
CR
5 March 2009
anak gw pernah dapet soal: “Nabi Muhammad adalah Nabi….” dan jawaban yang benar versi guru dan buku adalah “Nabi yang ke-25”. gw langsung komentar: “Jawaban geblek! jumlah nabi itu ribuan, nggak mungkin lah Nabi Muhammad nabi yang ke-25”
tapi setelah gw pikir2 guru itu oknum sekaligus korban. masih banyak juga loh guru2 yang statusnya korban tapi masih bisa mengajar dengan baik. π
marshmallow
5 March 2009
hahaha…
contoh soal seperti ini sebenarnya harus bisa mengakomodasi banyak jawaban benar, sebab soalnya nggak fokus gitu.
kalau udah gini, nggak salah kok gurunya diprotes, mas.
jadi ingat masa-masa sekolah dulu, kalau saya punya PR, maka ibu saya pun ikut repot karena jadi tumpuan belajar di rumah. duh, ibu rumah tangga itu memang multitasking banget ya?
FaLLa
5 March 2009
artikel yang menarik..
salam kenal pak, salam blogor juga..
Rizal
5 March 2009
wah saya belum punya anak sih jadi ngga tau rasanya pusing mikirin PR anak..tapi sebagai calon guru ini menjadi pertimbangan bagi saya..makasih pak…
edratna
7 March 2009
Sampai anakku kelas 3 SD saya selalu belajar dan menemani buat PR. Suatu ketika, Kepala Sekolah SD memberi tahuku, sebaiknya anak-anak di lepas, supaya tak tergantung orangtuanya.
“Bagaimana kalau ibu sakit? Bagaimana jika ibu tugas keluar kota? Apa anak ibu tak bikin PR? Biarkan kami yang melatihnya bu, beri kepercayaan pada kami, kalau anak ibu tak bikin PR kami akan menghukumnya.”
Diskusi yang menarik, dan kami membicarakan hukuman yang pantas, jangan sampai anak disuruh ngepel WC atau pulang, atau keluar kelas, karena anak jadi ketinggalan pelajaran. Kalau cuma berdiri di depan kelas tak apa2, paling tidak kuping anak masih bisa mendengarkan pelajaran. Saya bersyukur anakku sekolah disitu…dan itu adalah SD Negeri Inpres, yang orang komples perumahanku hanya satu dua yang menyekolahkan anaknya disitu.
adhieputra
13 April 2009
logikanya gak dibawa pak..
π
chiil
4 October 2009
ini yang bikin pemikiran&logika anak kurang berkembang. karena seperti didikte/doktrin
*ekstrim*
π
ah,ternyata msh byk guru yg hanya mengajar,tidak mendidik
π₯